Kaisar Pertama Romawi Kuno

Bulan Agustus dinamai menurut namanya

Dengan era perdamaian dan kemakmuran yang diraih kaisar Augustus, Senat kemudian memberikan suara pada 8 SM untuk mengganti nama bulan Sextilis dengan Augustus. Bulan itu sendiri merupakan bulan ketika Augustus pertama kali menjadi konsul dan memenangkan pertempuran terakhirnya atas Antony dan Cleopatra.

Sebelum Augustus, Senat juga telah merubah bulan Quintilis menjadi bulan Juli untuk menghormati Julius Caesar.

Julius Caesar merupakan paman buyutnya

Dilahirkan pada tanggal 23 September, 63 SM, Agustus tumbuh di sebuah kota sekitar 25 mil tenggara Roma. Ayahnya adalah seorang senator yang meninggal secara tak terduga ketika dia berusia empat tahun. Sedangkan ibunya adalah keponakan dari Julius Caesar.

Sebagai seorang anak, Augustus mungkin tidak banyak melihat aksi paman buyutnya yang terkenal itu sedang menyerbu Gaul. Namun, pada akhirnya, ia mendapatkan kepercayaan Caesar dan mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya, termasuk selama aksi militer di Spanyol.

Berkat paman buyutnya, Augustus dapat bergabung dengan aristokrasi bangsawan, hanya satu dari banyak penghargaan yang diberikan kepadanya. Kemudian, setelah sekelompok senator membunuh Caesar pada tahun 44 SM, Augustus mengetahui wasiat yang baru saja digubah, di mana ia diadopsi secara anumerta dan diwariskan warisan Julius Caesar.

Gagal memperluas kekaisaran Romawi

Setelah mengalahkan saingannya, Augustus mulai mengkonsolidasikan kekuatannya, meningkatkan infrastruktur Roma dan mempercantik kota. Dia juga ingin memperluas perbatasan kekaisarannya, membawa Mesir, Spanyol utara, Pegunungan Alpen, dan sebagian besar Balkan di bawah kendali Romawi.

Sayang kemunduran terjadi di Jerman ketika tiga legiunnya disapu habis dalam sebuah penyergapan pada 9 M, memaksa orang-orang Romawi untuk mundur di sebelah barat Sungai Rhine. Setelah mendengar berita tentang kekalahan itu, Augustus berulang kali membenturkan kepalanya ke dinding dan berteriak kepada jenderal untuk bertanggung jawab.

Sebagai bagian dari upaya ekspansi ini, Augustus menghabiskan bertahun-tahun di Spanyol, Galia, Yunani, dan Asia. Namun dia sendiri bukan pejuang, sering sakit pada malam pertempuran dan sangat bergantung pada strategi pada teman masa kecilnya Marcus Vipsanius Agrippa.

Lanjutkan membaca artikel di bawah

Baca Juga: 7 Misteri Perang Dunia II yang Belum Terjawab Sampai Saat Ini

Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla

Gaius Marius, seorang homo novus, yang belum lama terjun ke bidang politik berkat sokongan keluarga Metellus, tampil menjadi salah seorang tokoh pemimpin Republik Romawi, ketika terpilih menjadi consul untuk pertama kalinya pada tahun 107 SM, setelah mengemukakan bahwa mantan induk semangnya, Quintus Caecilius Metellus Numidicus, tidak mampu mengalahkan dan meringkus Iugurtha, Raja Numidia. Sesudah terpilih, Gaius Marius pun mulai melaksanakan usaha-usaha reformasi di bidang militer. Ketika membentuk pasukan dalam rangka memerangi Iugurtha, ia merekrut para warga termiskin (suatu inovasi), dan banyak pula warga tak berlahan yang diterima menjadi prajurit. Kebijakan semacam ini memupuk kesetiaan bala tentara pada senapati. Seumur hidupnya, Gaius Marius terpilih menjadi consul sebanyak tujuh kali. Belum pernah ada orang sebelum Gaius Marius yang terpilih kembali menjadi consul sampai tujuh kali.

Ketika itulah Gaius Marius mulai bertikai dengan Lucius Cornelius Sulla. Gaius Marius, yang hendak menangkap Iugurtha, meminta Bocchus, menantu Iugurtha sendiri, untuk menyerahkan Iugurtha kepadanya. Ketika niat Gaius Marius tidak tercapai, Lucius Cornelius Sulla, yang kala itu adalah salah seorang perwira bawahan Gaius Marius, nekat menerjang bahaya demi dapat bertatap muka secara langsung Bocchus dan berhasil membujuknya untuk untuk menyerahkan Iugurtha. Keberhasilan Lucius Cornelius Sulla sangat menggusarkan Gaius Marius karena sekian banyak seterunya terus-menerus memanas-manasi Lucius Cornelius Sulla untuk menentangnya. Kendati demikian, Gaius Marius tetap saja terpilih menjadi consul sampai lima kali berturut-turut dari tahun 104 sampai dengan tahun 100 SM, karena Roma masih membutuhkan kehadiran seorang pemimpin militer untuk menundukkan orang Kimbri dan orang Teuton, yang mengancam ketenteraman Roma.

Sesudah Gaius Marius pensiun, Roma untuk beberapa waktu lamanya dapat menikmati masa damai. Pada kurun waktu inilah para socius (sekutu) di Italia meminta pengakuan dan hak suara selaku rakyat Republik Romawi. Tokoh pembaharu, Marcus Livius Drusus, mendukung pengabulan permintaan mereka melalui undang-undang tetapi ia tewas dibunuh orang, dan para socius bangkit memberontak melawan Roma dalam Perang Sekutu. Ketika kedua consul gugur, Gaius Marius diangkat menjadi panglima perang bersama-sama dengan Lucius Iulius Caesar dan Lucius Cornelius Sulla.[47]

Seusai Perang Sekutu, Gaius Marius dan Lucius Cornelius Sulla menjadi tokoh-tokoh militer terkemuka di Roma, dan para pendukung mereka saling berseteru memperebutkan kekuasaan. Pada tahun 88 SM, Lucius Cornelius Sulla terpilih menjadi consul untuk pertama kalinya, dan tugas perdananya adalah mengalahkan Mitridates VI dari Pontus, yang berniat menguasai bagian timur dari wilayah kekuasaan bangsa Romawi. Kendati demikian, para pendukung Gaius Marius berhasil memperjuangkan pengangkatannya menjadi senapati di luar kemauan Lucius Cornelius Sulla maupun senatus, sehingga mengobarkan amarah Lucius Cornelius Sulla. Demi mengukuhkan kekuasaannya sendiri, Lucius Cornelius Sulla mengambil suatu langkah yang mengejutkan sekaligus melanggar hukum, yakni memimpin perbarisan legiun-legiunnya menuju Roma, membunuh semua orang yang menunjukkan keberpihakan pada Gaius Marius, menancapkan kepala korban-korbannya pada galah, lalu dipajang di Forum Romanum. Pada tahun berikutnya, yakni tahun 87 SM, Gaius Marius, yang tadinya lari menghindari aksi militer Lucius Cornelius Sulla, pulang ke Roma selagi Lucius Cornelius Sulla sibuk berperang di Yunani. Ia merebut kekuasaan bersama-sama dengan consul Lucius Cornelius Cinna, membunuh consul yang satunya lagi, yakni Gnaeus Octavius, dan menjadi consul untuk ketujuh kalinya. Dengan maksud membangkitkan amarah Lucius Cornelius Sulla, Gaius Marius dan Lucius Cornelius Cinna membantai orang-orang yang mendukung Lucius Cornelius Sulla sebagai bentuk balas dendam atas pembantaian para pendukung Gaius Marius.[47][48]

Gaius Marius wafat pada tahun 86 BC, karena usia yang sudah lanjut maupun akibat kondisi kesehatan yang memburuk, hanya beberapa bulan sesudah merebut kekuasaan. Lucius Cornelius Cinna berkuasa mutlak sampai wafat pada tahun 84 SM. Sepulangnya dari medan perang di bagian timur wilayah kekuasaan Romawi, Lucius Cornelius Sulla dengan leluasa mengukuhkan kekuasaannya. Pada tahun 83 SM, untuk kedua kalinya ia memimpin perbarisan menuju Roma dan meneror seisi kota. Ribuan patricius, eques, dan senator dieksekusi mati. Lucius Cornelius Sulla juga menjadi diktator sampai dua kali masa jabatan, dan menjadi sekali menjadi consul. Masa pemerintahannya merupakan pangkal dari krisis dan kemerosotan Republik Romawi.[47]

Marcus Aurelius (161-180 M)

Marcus Aurelius Antoninus Augustus memiliki nama asli Marcus Annius Verus. Kaisar Romawi kelima dari Five Good Emperors of Rome ini dikenal dengan filosofi Meditasi dan Stoa/Stoisisme miliknya. Di Barat, Aurelius menjadi simbol Masa Keemasan of Kekaisaran Romawi selama banyak generasi.

Itulah lima Kaisar Romawi Kuno yang terkenal baik hati dan dikenal sebagai Five Good Emperors. Kebaikan hati mereka dalam memerintah kerajaan justru mampu membawa kejayaan.

Dalam sejarah pemerintahan Romawi Kuno, Julius Caesar dipandang sebagai salah satu pimpinan terbaik. Sebelum tragedi pembunuhannya, ia telah mempersiapkan seseorang untuk menjadi pemimpin Romawi selanjutnya, ia adalah Octavianus Augustus.

Meski sempat diragukan kepemimpinannya, Augustus kemudian bertransformasi sebagai seorang pemimpin ulung dan menjadi sosok kaisar pertama dalam sistem pemerintahan kekaisaran Romawi. Di bawah aturannya, Romawi berhasil merengkuh banyak kemenangan dan kemajuan.

Di balik itu semua, ia pun memiliki kisah hidup yang menarik. Berikut fakta-faktanya.

Berakhirnya zaman republik

Seusai mengalahkan Makedonia dan Kekaisaran Wangsa Seleukos pada abad ke-2 SM, orang Romawi menjadi bangsa yang paling unggul di Laut Tengah.[40][41] Penaklukan kerajaan-kerajaan Helenistik ini kian mendekatkan budaya Romawi dengan budaya Yunani, sehingga membuat para petinggi Romawi meninggalkan peri kehidupan khas orang desa, lalu mulai bergaya hidup mewah dan berperilaku layaknya warga kota besar. Dari sudut pandang militer, Roma kala itu adalah sebuah kekaisaran yang padu, dan tidak punya musuh besar.

Dominasi asing menimbulkan pertikaian di dalam negeri. Para senator menggelembungkan pundi-pundi pribadi dengan mengisap kekayaan provinsi-provinsi jajahan. Para prajurit, yang kebanyakan adalah petani-petani kecil, harus menjalani masa bakti yang lebih lama di luar negeri sehingga ladang-ladang mereka terbengkalai. Meningkatnya ketergantungan terhadap tenaga budak belian dan pertambahan jumlah latifundium mempersempit peluang kerja bagi tenaga kerja upahan.[42][43]

Pendapatan negara dari jarah, merkantilisme di provinsi-provinsi baru, dan sistem ijon menciptakan peluang-peluang ekonomi baru bagi para hartawan, sehingga muncullah suatu golongan baru dalam masyarakat, yakni kalangan saudagar yang disebut Eques (kesatria).[44] Lex Claudia (Undang-Undang Claudius) melarang anggota-anggota senatus untuk berkiprah di bidang perniagaan, sehingga kendati kaum Eques secara teori boleh menjadi anggota senatus, kiprah mereka di bidang politik sangat dibatasi.[44][45] Senatus tak henti-hentinya berbantah-bantahan, berulang kali menghalangi usaha-usaha reformasi agraria yang penting, dan menolak memberi peluang yang lebih besar bagi kaum Eques untuk urun rembuk dalam urusan pemerintahan.

Gerombolan-gerombolan warga kota pengangguran, yang dikendalikan oleh senator-senator yang saling bersaing, mengintimidasi para pemilih dengan kekerasan. Keadaan semacam ini mencapai puncaknya pada akhir abad ke-2 SM, manakala Gracchus bersaudara, dua orang tribun adik-beradik, memperjuangkan pengesahan dan penerapan undang-undang reformasi pertahanan, yang mengatur tentang pembagi-bagian kembali tanah-tanah milik kaum Patricius kepada kaum Plebs. Gracchus bersaudara tewas dibunuh orang, dan senatus meloloskan rancangan undang-undang baru yang mementahkan kembali semua jerih payah Gracchus bersaudara.[46] Peristiwa ini menimbulkan keretakan hubungan yang terus melebar di antara kaum Plebs (kubu populares) dan kaum Eques (kubu optimates).

Penggolongan masyarakat

Masyarakat Romawi Kuno bersifat hierarkis. Budak-budak belian (bahasa Latin: servi) berada pada jenjang terbawah, orang-orang yang dimerdekakan (bahasa Latin: liberti) berada pada jenjang menengah, sementara warga negara yang terlahir merdeka (bahasa Latin: cives) menempati jenjang teratas. Warga negara yang terlahir merdeka pun masih terbagi lagi menjadi beberapa golongan. Penggolongan yang paling luas dan paling tua adalah penggolongan menjadi kaum patricius, yakni golongan orang-orang yang termasuk nasab 100 orang pitarah, sesepuh masyarakat perdana kota Roma, dan kaum plebs, yakni golongan orang-orang yang tidak termasuk nasab mereka. Penggolongan semacam ini dianggap tidak terlalu penting lagi pada penghujung zaman republik, karena sejumlah keluarga kaum plebs sudah menjadi kaya raya dan berkiprah di gelanggang polik, sementara sejumlah keluarga patricius mengalami keterpurukan ekonomi. Siapa saja, patricius maupun plebs, yang dapat membuktikan bahwa salah seorang leluhurnya pernah menduduki jabatan consul, adalah orang mulia (bahasa Latin: nobilis). Orang pertama dari sebuah keluarga yang berhasil menduduki jabatan consul, semisal Gaius Marius dan Cicero, disebut novus homo (orang baru), orang yang memuliakan keturunannya. Kendati demikian, status keturunan patricius masih tetap dihargai orang, dan masih banyak jabatan keagamaan yang hanya boleh diemban oleh kaum patricius.

Penggolongan yang lambat laun dianggap lebih penting adalah penggolongan menurut kelayakan ikut serta bela negara. Golongan seseorang ditetapkan secara berkala oleh censor, berdasarkan jumlah harta kekayaannya. Golongan terkaya adalah golongan senatus (sesepuh), yang menguasai gelanggang politik dan mengendalikan angkatan bersenjata. Setingkat di bawahnya adalah golongan eques (kesatria), yang mula-mula adalah golongan orang-orang yang mampu memiliki seekor kuda perang. Golongan eques merupakan golongan saudagar yang berkuasa. Di bawah eques masih ada beberapa golongan lagi menurut jenis perlengkapan perang yang mampu dimiliki anggotanya, dan jenjang terbawah ditempati oleh proletarius (penghasil keturunan), yakni warga negara tanpa properti yang hanya mampu menyumbangkan warga baru bagi negara. Sebelum tatanan militer Romawi dirombak oleh Gaius Marius, golongan proletarius dinilai tidak layak diikutsertakan dalam kegiatan bela negara, dan sering kali digambarkan sebagai kaum yang hanya lebih berharta dan lebih terpandang daripada mantan budak belian.

Hak suara seseorang pada zaman republik tergantung pada golongannya. Rakyat dibagi menjadi tribus (suku-suku) pemberi suara, tetapi suku-suku golongan kaya lebih sedikit anggotanya daripada suku-suku golongan miskin, dan seluruh proletarius dikelompokkan menjadi satu suku saja. Pemungutan suara diselenggarakan secara berjenjang, mulai dari golongan teratas sampai golongan terbawah, dan ditutup segera sesudah sebagian besar suku sudah memberi suara, sehingga golongan-golongan miskin acap kali tidak berkesempatan menggunakan hak suara mereka.

Kaum perempuan memiliki sejumlah hak asasi yang sama dengan kaum lelaki, tetapi tidak dianggap sebagai warga negara yang benar-benar setara dengan kaum lelaki, sehingga tidak diizinkan ikut serta dalam pemungutan suara maupun berkiprah di gelanggang politik. Kendati demikian pembatasan terhadap kaum perempuan sedikit demi sedikit diperlonggar (karena adanya emansipasi), sehingga kaum perempuan akhirnya bebas dari kewajiban untuk tunduk pada pater familias, mendapat hak untuk memiliki tanah dan bangunan, bahkan mendapatkan lebih banyak hak yuridis dibanding suami-suami mereka, tetapi tetap saja tidak berhak ikut serta dalam pemungutan suara, dan tidak dibenarkan berkecimpung dalam dunia politik.[168]

Kota-kota asing yang menjalin persekutuan dengan Roma sering kali dianugerahi Ius Latii (hak adat orang Latini), yakni status di antara warga negara Romawi yang seutuhnya dan warga asing (peregrini), sehingga mereka mendapatkan hak-hak warga negara berdasarkan hukum Romawi dan para petingginya berpeluang menjadi warga negara Romawi yang seutuhnya. Kendati cakupannya berbeda-beda, ada dua macam Ius Latii yang utama, yakni cum suffragio (dengan hak suara, yakni dibenarkan untuk ikut serta dalam tribus dan comitia tributa) dan sine suffragio (tanpa hak suara, yakni tidak dibenarkan ikut campur dalam urusan politik Romawi). Sebagian besar negara kota sekutu Roma di Jazirah Italia diberi kewarganegaraan penuh seusai Perang Sekutu tahun 91–88 SM, dan kewarganegaraan Romawi penuh dianugerahkan kepada semua laki-laki yang terlahir merdeka di wilayah Kekaisaran Romawi oleh Kaisar Caracalla pada tahun 212 M.

Pada permulaan zaman Republik Romawi, belum ada sekolah-sekolah untuk umum, sehingga anak-anak lelaki diajari baca tulis oleh orang tua masing-masing, atau oleh seorang budak terpelajar yang disebut paedagogus, dan lazimnya berkebangsaan Yunani.[169][170][171] Tujuan utama pendidikan kala itu adalah melatih anak-anak muda agar menguasai ilmu bercocok tanam, ilmu perang, adat istiadat bangsa Romawi, dan urusan-urusan kepamongprajaan.[169] Remaja-remaja lelaki banyak belajar tentang kehidupan bermasyarakat dengan cara menyertai ayah mereka menghadiri acara-acara keagamaan dan politik, termasuk menghadiri sidang-sidang senatus bagi putra-putra keluarga ningrat.[170] Jika sudah berumur 16 tahun, putra-putra keluarga ningrat biasanya magang pada tokoh-tokoh politik terkemuka, dan ikut berperang bersama angkatan bersenjata saat berumur 17 tahun. Aturan ini masih diterapkan oleh sejumlah keluarga ningrat pada zaman kekaisaran.[170] Praktik-praktik pendidikan diubah suai seiring masuknya pengaruh Yunani sesudah kerajaan-kerajaan Helenistik ditaklukkan pada abad ke-3, kendati praktik-praktik pendidikan Romawi tetap saja berbeda jauh dari praktik-praktik pendidikan Yunani.[170][172] Jika orang tua mampu menanggung biayanya, anak-anak lelaki dan beberapa anak perempuan yang sudah berumur 7 tahun dimasukkan ke sekolah swasta di luar rumah yang disebut ludus. Gurunya disebut litterator atau magister ludi, dan sering kali berkebangsaan Yunani. Di sekolah ini, murid-murid mendapatkan pelajaran dasar membaca, menulis, aritmetika, dan kadang-kadang bahasa Yunani, sampai mereka berumur 11 tahun.[170][171][173]

Murid-murid yang sudah berumur 12 tahun menempuh pendidikan di sekolah sekunder. Gurunya disebut grammaticus, dan mengajarkan kesusastraan Yunani dan Romawi.[170][173] Sesudah berumur 16 tahun, sebagian murid melanjutkan pendidikan di sekolah retorika. Gurunya disebut rhetor, dan lazimnya berkebangsaan Yunani.[170][173] Pendidikan pada tahap ini bertujuan mempersiapkan murid untuk berkarier di bidang hukum, sehingga mewajibkan mereka untuk menghafal undang-undang Roma.[170] Murid-murid bersekolah setiap hari, kecuali pada hari besar keagamaan dan hari-hari pasar. Ada pula masa libur setiap musim panas.

Pada mulanya, Roma diperintah oleh raja-raja, yang silih berganti dipilih dari suku-suku utama di kota Roma.[174] Hakikat kewenangan Raja Roma tidak diketahui secara pasti. Mungkin saja nyaris mutlak, dan mungkin pula setaraf kewenangan eksekutif kemanunggalan sesepuh dan rakyat. Setidaknya dalam urusan militer, kewenangan memerintah (Imperium) raja mungkin sekali bersifat mutlak. Raja juga merupakan panatagama negara. Di samping kewenangan raja, masih ada tiga lembaga tata usaha negara, yakni senatus, comitia curiata, dan comitia calata. Senatus (majelis sesepuh) bertindak selaku dewan penasihat raja, comitia curiata (sidang majelis perkauman) berwenang mengajukan dan mengesahkan undang-undang yang dicetuskan raja, sementara comitia calata (sidang majelis pengimbauan) adalah sidang majelis para pendeta yang berwenang mengumpulkan rakyat untuk menyaksikan tindakan tertentu, mendengarkan pengumuman, dan menetapkan perayaan-perayaan serta hari-hari besar keagamaan untuk bulan berikutnya.

Pertentangan antargolongan di negara Republik Romawi memunculkan suatu tatanan campuran antara demokrasi dan oligarki. Istilah "republik" berasal dari kata Latin res publica, yang makna harfiahnya adalah "urusan kemasyarakatan". Menurut tradisi, rancangan undang-undang hanya boleh diloloskan melalui pemungutan suara dalam sidang rakyat (comitia tributa, sidang majelis warga suku). Calon-calon pejabat publik pun ditetapkan oleh rakyat. Kendati demikian, senatus menjadi semacam lembaga oligarki, yang bertindak selaku dewan penasihat.

Pada zaman republik, senatus sungguh-sungguh memiliki kewenangan (auctoritas), tetapi tidak memiliki kuasa legislatif yang nyata. Pada dasarnya senatus hanyalah sebuah dewan penasihat. Kendati demikian, karena tiap-tiap senator adalah tokoh yang sangat berpengaruh, maka sukar sekali mengambil tindakan apa pun yang bertentangan dengan mufakat senatus. Senator-senator baru dipilih dari antara tokoh-tokoh patricius yang paling cendekia oleh jawatan cacah jiwa (bahasa Latin: censura), yang juga berwenang memakzulkan seorang senator jika kedapatan "bobrok akhlaknya", misalnya menerima suap, atau memeluk istri orang di muka umum seperti pada zaman Cato Tua. Diktator Sulla pernah mengatur agar orang-orang yang terpilih menjadi quaestor (penyidik) serta merta juga menjadi anggota senatus, tetapi praktik semacam ini tidak bertahan lama.

Republik Romawi tidak memiliki birokrasi yang bersifat tetap, dan mengumpulkan pajak dengan cara menjual hak memungut cukai kepada pemborong. Jawatan quaestor, aedilis, atau praefect didanai oleh si penyandang jabatan. Agar tak seorang pun warga negara memiliki wewenang berlebih, para magistratus baru dipilih tiap-tiap tahun dan harus berbagi kewenangan kekuasaan dengan seorang rekan sejawatnya. Sebagai contoh, dalam keadaan normal, kewenangan tertinggi dipegang oleh dua orang consul. Dalam keadaan darurat, dapat ditunjuk seorang dictator (pengarah) untuk memegang kewenangan tertinggi untuk sementara waktu. Sepanjang zaman republik, sistem tata usaha negara berulang kali diperbaiki agar selaras dengan keperluan-keperluan yang baru muncul. Pada akhirnya, sistem tata usaha negara Republik Romawi terbukti tidak efisien untuk digunakan mengatur wilayah kekuasaan Roma yang terus-menerus bertambah luas, dan menjadi salah satu faktor yang mendorong lahirnya Kekaisaran Romawi.

Pada permulaan zaman kekaisaran, pemerintah tetap saja berlagak seakan-akan negara masih berbentuk republik. Kaisar Romawi hanya dicitrakan sebagai seorang princeps, "warga negara nomor satu", sementara senatus mengambil alih kuasa legislatif dan seluruh kewenangan hukum yang sebelumnya dikuasai oleh sidang-sidang rakyat. Kendati demikian, pemerintahan para kaisar kian lama kian autokratis, dan senatus akhirnya menjadi sekadar dewan penasihat yang diangkat oleh kaisar. Kekaisaran Romawi tidak mewarisi perangkat birokrasi dari zaman republik, karena Republik Romawi tidak memiliki struktur-struktur pemerintahan yang permanen selain senatus. Kaisar mengangkat para pembantu dan penasihat, tetapi Kekaisaran Romawi tetap saja kekurangan banyak lembaga negara, misalnya lembaga penyusun anggaran belanja negara yang terpusat. Beberapa sejarawan mengedepankan hal ini sebagai salah satu faktor penting yang menjadi biang keladi kemerosotan Kekaisaran Romawi.

Sebagaimana angkatan bersenjata negara-negara kota pada zamannya yang terpengaruh peradaban Yunani, angkatan bersenjata Romawi terdahulu (ca. tahun 500 SM) adalah barisan militia warga kota yang menerapkan siasat perang ala hoplites. Jumlah personelnya tidak seberapa (populasi laki-laki merdeka yang layak bertempur kala itu berjumlah sekitar 9.000 jiwa) dan ditata menjadi lima golongan prajurit, sama seperti lima golongan Comitia Centuriata (sidang majelis seratus warga), lembaga politik warga Roma. Tiga pasukan beranggotakan para hoplites (prajurit berperlengkapan tombak dan perisai), dan dua pasukan beranggotakan para prajurit pejalan kaki bersenjata ringan. Angkatan bersenjata Romawi terdahulu terbatas siasat tempurnya, dan pada dasarnya disiagakan untuk bertahan.[175][176][177]

Pada abad ke-3 SM, bangsa Romawi meninggalkan gelar pasukan hoplites dan beralih ke suatu tatanan yang lebih luwes, yakni satuan-satuan beranggotakan 120 (kadang-kadang 60) prajurit yang disebut manipulus, yang mampu berolah gerak secara lebih mandiri di medan tempur. Tiga puluh satuan manipulus dalam tiga barisan berikut pasukan-pasukan bantu merupakan satu legiun (bahasa Latin: legio), dengan jumlah keseluruhan antara 4.000 dan 5.000 prajurit.[175][176]

Satu legiun Republik Romawi terdahulu terdiri atas lima macam pasukan dengan perlengkapan dan posisi yang berbeda dalam gelar pasukan, yakni tiga baris manipulus pejalan kaki bersenjata berat (barisan hastati, barisan principes, dan barisan triarii), sepasukan prajurit pejalan kaki bersenjata ringan (velites), dan sepasukan prajurit berkuda (equites). Seiring pertumbuhan negara, orientasi angkatan bersenjata pun bergeser dari pertahanan ke penyerangan, dan sikapnya pun menjadi jauh lebih garang terhadap negara-negara kota di sekitarnya.[175][176]

Pada masa-masa awal berdirinya Republik Romawi, satu legiun berkekuatan penuh sewajarnya beranggotakan 4.000 sampai 5.000 prajurit, terdiri atas 3.600 sampai 4.800 prajurit pejalan kaki bersenjata berat, beberapa ratus prajurit pejalan kaki bersenjata ringan, dan beberapa ratus prajurit berkuda.[175][178][179] Legiun-legiun sering kali sangat kekurangan anggota, baik karena kegagalan perekrutan angota baru maupun karena kehilangan anggota lama yang mengalami kecelakaan, menjadi korban pertempuran, terserang penyakit, atau melakukan desersi. Semasa perang saudara, legiun-legiun Gnaeus Pompeius di wilayah timur berkekuatan penuh karena baru saja direkrut, sementara kekuatan tempur legiun-legiun Gaius Iulius Caesar kebanyakan jauh di bawah angka wajar selepas masa bakti di Galia. Keadaan yang sama juga berlaku pada pasukan-pasukan bantu masing-masing.[180][181]

Sampai menjelang berakhirnya zaman Republik Romawi, legiuner lazimnya adalah petani Romawi pemilik tanah dari desa (seorang adsiduus) yang menjalani masa bakti sebagai prajurit dalam aksi militer tertentu (sering kali setiap tahun),[182] menyiapkan sendiri perlengkapan tempur dan, khusus bagi para equites, tunggangannya. Harris menduga bahwa sampai dengan tahun 200 SM, para petani biasa (yang bertahan hidup) dari desa mungkin ikut serta dalam enam atau tujuh pertempuran. Para mantan budak beserta para budak (di mana pun berada) dan warga kota tidak diikutsertakan, kecuali dalam keadaan darurat.[183]

Selepas tahun 200 SM, kondisi ekonomi di daerah pedesaan mengalami kemerosotan seiring meningkatnya kebutuhan akan tenaga manusia, sehingga tolok ukur jumlah harta kekayaan yang harus dimiliki seorang warga negara untuk dapat menjalani masa bakti militer pun lambat laun diturunkan. Mulai dari masa kepemimpinan Gaius Marius pada tahun 107 SM, rakyat yang tidak memiliki harta berupa tanah dan bangunan serta rakyat yang berdiam di kota-kota (proletarii) boleh diikutsertakan dan dipersenjatai, kendati sebagian besar legiuner tetap saja berasal dari daerah pedesaan. Masa bakti menjadi berkesinambungan dan diperpanjang sampai 20 tahun jika mendadak diperlukan, kendati masa bakti enam atau tujuh tahun masih tetap lazim.[184]

Semenjak abad ke-3 SM, para legiuner diberi stipendium (uang jasa). Jumlahnya masih diperdebatkan, tetapi kabarnya Gaius Iulius Caesar pernah "menggandakan" jumlah stipendium para legiunernya hingga mencapai 225 keping denarius setahun. Mereka juga berpeluang mendapatkan harta jarahan dan donativum (uang lelah), yakni jatah pembagian hasil jarahan dari pimpinan seusai menang bertempur. Semenjak zaman Gaius Marius, mereka juga kerap dianugerahi sebidang tanah selepas masa bakti.[175][185] Prajurit berkuda dan prajurit pejalan kaki bersenjata ringan tergabung dalam satu legiun, yakni legio auxilia (legiun bantu), dan sering kali direkrut dari masyarakat yang mendiami daerah-daerah tempat tugas legiun yang bersangkutan. Gaius Iulius Caesar pernah membentuk selegiun prajurit yang direkrut dari penduduk bukan warga negara Romawi yang bermukim di Galia Transalpina untuk dikerahkan dalam aksi-aksi militer yang dipimpinnya di Galia. Angkatan ini diberi nama Legio Quinta Alaudae (Legiun ke-5, Branjangan).[186] Pada zaman Augustus, gagasan bahwa prajurit adalah rakyat yang ikut serta dalam usaha bela negara sudah ditinggalkan, dan angkatan bersenjata pun sudah sepenuhnya bersifat profesional. Para legiuner digaji 900 keping sestertius setahun, dan berpeluang menerima uang lepas sebesar 12.000 keping sestertius.[187]

Seusai perang saudara, Augustus menata ulang pasukan-pasukan angkatan bersenjata Romawi. Sejumlah besar prajurit dibebastugaskan dan banyak legiun dibubarkan, sehingga hanya tersisa 28 legiun, yang ia sebar ke seluruh provinsi kekaisaran.[188] Pada zaman para princeps, tatanan taktis angkatan bersenjata sedikit demi sedikit terus berkembang. Legio auxilia tetap menjadi cohors (kesatuan taktis standar) mandiri, dan pasukan-pasukan legiuner sering kali menjalankan tugas sebagai sekelompok cohors, alih-alih sebagai sekelompok legiun utuh. Kesatuan jenis baru yang serbaguna, cohors equitata, memadukan prajurit-prajurit berkuda dan para legiuner dalam satu kesatuan. cohors equitata dapat ditempatkan di garnisun-garnisun atau pangkalan-pangkalan pertahanan tapal batas, dan dapat bergerak sendiri selaku kesatuan kecil yang berimbang maupun digabungkan dengan kesatuan-kesatuan sejenisnya menjadi satu kesatuan bertaraf legiun. Peningkatan fleksibilitas dalam pengaturan angkatan bersenjata ini turut memastikan keberhasilan pasukan-pasukan militer Romawi dalam jangka panjang.[189]

Kaisar Gallienus (253–268 M) memprakarsai usaha penataan ulang yang menghasilkan tatanan militer Romawi sebagaimana adanya pada penghujung zaman kekaisaran. Gallienus menarik sejumlah legiun dari tempat tugas tetap mereka di tapal batas wilayah kekaisaran, dan mengubah mereka menjadi kesatuan-kesatuan tempur berpindah-pindah (comitatenses) dan menyiagakan mereka pada jarak tertentu dari tapal batas sebagai pasukan cadangan stategis. Pasukan-pasukan pengawal perbatasan (limitanei), yang bertugas tetap di pangkalan-pangkalan pertahanan, tetap menjadi ujung tombak pertahanan negara. Kesatuan tempur dasar adalah resimen, yang disebut legio atau auxilia untuk pasukan pejalan kaki, dan vexellationes untuk pasukan berkuda. Bukti-bukti menyiratkan bahwa satu resimen berkekuatan nominal 1.200 personel untuk pasukan pejalan kaki, dan 600 personel untuk pasukan berkuda, kendati ada banyak keterangan tertulis yang menunjukkan jumlah nyata yang lebih kecil (800 personel untuk pasukan pejalan kaki dan 400 personel untuk pasukan berkuda).[190]

Banyak resimen prajurit pejalan kaki dan prajurit berkuda yang dikerahkan berpasangan di bawah pimpinan seorang comes. Selain pasukan-pasukan prajurit berkebangsaan Romawi, angkatan tempur juga terdiri atas resimen-resimen "orang barbar" yang direktur dari suku-suku barbar sekutu Romawi yang disebut foederati. Pada tahun 400 M, resimen-resimen foederati sudah menjadi kesatuan-kesatuan permanen dalam angkatan bersenjata Kekaisaran Romawi. Resimen-resimen foederati digaji dan dipersenjatai kekaisaran, dipimpin oleh seorang tribunus berkebangsaan Romawi, dan difungsikan sebagaimana kesatuan-kesatuan prajurit Romawi lainnya. Selain resimen-resimen foederati, Kekaisaran Romawi juga memanfaatkan laskar-laskar orang barbar untuk bertempur bersama-sama legiun-legiun Romawi sebagai "sekutu" tanpa perlu dijadikan bagian dari angkatan tempur. Di bawah arahan seorang senapati Romawi, laskar-laskar ini digerakkan oleh pemimpin-pemimpin mereka sendiri.[190]

Kepemimpinan angkatan bersenjata berkembang sedikit demi sedikit dari zaman ke zaman. Pada zaman kerajaan, angkatan bersenjata terdiri atas prajurit-prajurit hoplites yang dipimpin langsung oleh Raja Roma. Pada permulaan dan pertengahan zaman republik, pasukan-pasukan angkatan bersenjata dipimpin oleh salah seorang dari sepasang consul yang terpilih untuk menjabat pada tahun berjalan. Menjelang berakhirnya zaman republik, sebagai bagian dari jenjang jabatan yang lumrah didaki para pejabat publik pilihan rakyat, yang disebut cursus honorum (tahapan kehormatan), seorang anggota senatus mula-mula memegang jabatan quaestor (sering kali ditugaskan selaku wakil panglima angkatan tempur), selanjutnya memegang jabatan praetor.[191][192] Bawahan Gaius Iulius Caesar yang paling berbakat, efektif, dan andal di Galia, Titus Labienus, adalah orang yang direkomendasikan oleh Pompeius.[193]

Sehabis menjalani masa bakti selaku praetor atau consul, seorang senator dapat diangkat senatus menjadi propraetor atau proconsul (berdasarkan jabatan paling tinggi yang ia pegang sebelumnya) dengan tugas mengepalai pemerintahan di salah satu provinsi jajahan. Perwira-perwira yang lebih rendah (sampai dengan tetapi tidak termasuk centurio) adalah orang-orang yang dipilih oleh senapati masing-masing dari antara para anak semang (clientelae) si senapati, atau orang-orang yang direkomendasikan oleh sekutu-sekutu politik si senapati di kalangan senatus.[191]

Pada masa pemerintahan Augustus, yang berusaha menempatkan militer di bawah kepemimpinan tunggal yang permanen, kaisar adalah senapati sah dari tiap-tiap legiun, tetapi menjalankan kewenangannya selaku senapati legiun melalui seorang legatus (duta) yang ia pilih dari kalangan senatus. Di provinsi yang dijaga satu legiun saja, si duta kaisar mengepalai legiun (legatus legionis) sekaligus mengepalai pemerintahan provinsi, sementara di provinsi yang dijaga lebih dari satu legiun, tiap-tiap legiun dikepalai oleh seorang duta kaisar, dan para duta kaisar dikepalai oleh wali negeri (juga seorang duta kaisar, tetapi lebih tinggi pangkatnya).[194]

Menjelang berakhirnya zaman kekaisaran (mungkin semenjak masa pemerintahan Diocletianus), tata kepemimpinan militer ala Augustus ditinggalkan. Kewenangan militer para wali negeri dicabut, dan kepemimpinan angkatan bersenjata di sekelompok provinsi dipercayakan kepada seorang senapati (dux) yang diangkat oleh kaisar. Para senapati bukan lagi orang-orang yang dipilih dari kalangan atas Romawi, melainkan orang-orang yang berjaya mendaki jejang kepangkatan dalam angkatan bersenjata berkat kecakapan masing-masing. Sejalan dengan pertambahan jumlahnya, pemimpin-pemimpin militer semacam ini pun berusaha (adakalanya berhasil) merebut jabatan kaisar yang telah mengangkat mereka. Menyusutnya sumber-sumber daya, meningkatnya kekacauan politik, serta maraknya perang saudara menggerogoti ketahanan bagian barat Kekaisaran Romawi, sehingga akhirnya dapat direbut oleh suku-suku barbar di sekitarnya.[195]

Informasi mengenai angkatan laut Romawi jauh lebih sedikit daripada informasi mengenai angkatan daratnya. Sebelum pertengahan abad ke-3 SM, pejabat-pejabat negara yang disebut duumviri navales memimpin armada 20 kapal dengan misi utama memberantas bajak laut. Armada-armada ini ditiadakan pada tahun 278 M, dan diganti dengan angkatan-angkatan laut sekutu. Perang Punik I memaksa Roma membentuk armada-armada raksasa. Roma akhirnya membentuk armada-armada yang dibutuhkannya dengan bantuan dan dana dari sekutu-sekutunya. Ketergantungan pada sekutu berlanjut sampai zaman republik berakhir. Quinqueremis adalah jenis kapal-kapal perang yang dikerahkan kedua belah pihak selama berlangsungnya perang-perang Punik, dan tetap menjadi tulang punggung angkatan laut Romawi sampai akhirnya digantikan dengan kapal-kapal yang lebih ringan dan lebih lincah berolah gerak pada masa pemerintahan Augustus.[196]

Dibanding triremis, quinqueremis dapat diawaki oleh tenaga-tenaga kawakan maupun yang belum berpengalaman (suatu keuntungan bagi sebuah negara dengan angkatan darat sebagai kekuatan tempur utama), dan kemampuan olah geraknya yang kurang lincah membuat bangsa Romawi menggunakan dan menyempurnakan siasat-siasat serbu kapal yang memanfaatkan tenaga sekitar 40 orang prajurit laut, alih-alih menggunakan hulu pembobol. Kapal-kapal berolah gerak mengikuti aba-aba dari nauarchus, perwira setingkat centurio, yang lazimnya bukan warga negara Romawi. Potter menduga bahwa karena didominasi bangsa-bangsa non-Romawi, armada-armada tempur dianggap sebagai angkatan asing, sehingga dibiarkan susut pada masa-masa damai.[196]

Informasi yang ada menyiratkan bahwa menjelang berakhirnya zaman kekaisaran (350 M), angkatan laut Romawi terdiri atas sejumlah armada kapal perang maupun kapal niaga pengangkut prajurit dan perbekalan tempur. Kapal-kapal perang adalah galai-galai yang digerakkan tiga sampai empat baris pendayung. Pangkalan-pangkalan laut berlokasi di bandar-bandar seperti Ravenna, Arles, Aquilea, Misenum, serta muara Sungai Somme di kawasan barat, dan Aleksandria serta Rodos di kawasan timur. Armada-armada katai yang terdiri atas wahana-wahana sungai berukuran kecil (classis) merupakan bagian dari limitanei (pasukan penjaga perbatasan) kala itu, berpangkalan di bandar-bandar berbenteng di sepanjang tepian Sungai Rhein dan Sungai Donau. Kenyataan bahwa senapati-senapati terkemuka mengepalai angkatan darat maupun angkatan laut menyiratkan bahwa kala itu angkatan laut digunakan sebagai kekuatan penunjang angkatan darat, bukan sebagai angkatan tersendiri. Perincian struktur komando dan kekuatan armada pada kurun waktu ini tidak diketahui secara jelas, kendati dapat dipastikan bahwa masing-masing armada dipimpin oleh seorang praefectus (pemuka).[197]

Bangsa Romawi Kuno menguasai daratan yang sangat luas dengan sumber daya alam dan manusia yang berlimpah-limpah. Dengan kelimpahan sumber daya alam dan manusia ini, perekonomian Roma tetap mengutamakan usaha pertanian dan perniagaan. Perdagangan bebas hasil-hasil pertanian mengubah bentang alam Jazirah Italia, dan pada abad pertama SM, kebun-kebun anggur dan zaitun yang luas telah menggeser lahan-lahan para petani kecil, yang kalah bersaing harga dengan gandum impor. Aneksasi atas Mesir, Sisilia, dan Tunisia menciptakan aliran masuk pasokan gandum tanpa henti ke Roma. Sebaliknya, minyak zaitun dan minuman anggur menjadi barang-barang impor utama yang mengalir keluar dari Jazirah Italia. Bangsa Romawi mempraktikkan gilir tanam dua jenis tumbuhan, tetapi produktivitas pertanian tetap rendah, kira-kira 1 ton per hektar.

Kegiatan industri dan manufaktur lebih kecil lagi angkanya. Kegiatan paling besar di bidang ini adalah penambangan batu, yang digunakan sebagai bahan baku bangunan pada masa itu. Di bidang manufaktur, skala produksi relatif kecil, dan pada umumnya terdiri atas sanggar-sanggar produksi dan pabrik-pabrik kecil yang mempekerjakan sebanyak-banyaknya satu dua lusin karyawan. Kendati demikian, ada pula beberapa pabrik batu bata yang mempekerjakan ratusan karyawan.

Perekonomian Republik Romawi permulaan kurun waktu republik lebih banyak bertumpu pada usaha kecil dan tenaga kerja upahan. Namun perang dan penaklukan atas bangsa-bangsa lain mendatangkan budak-budak belian yang kian lama kian bertambah jumlahnya dan kian murah harganya, sehingga perekonomian Republik Romawi menjelang akhir kurun waktu republik sudah sangat bergantung pada tenaga budak belian, baik yang terampil maupun yang tidak terampil. Diperkirakan 20% dari keseluruhan populasi Kekaisaran Romawi, dan 40% dari populasi kota Roma kala itu, adalah budak belian. Hanya di Kekaisaran Romawi sajalah orang dapat lebih berhemat jika mempekerjakan tenaga upahan alih-alih membeli budak belian, setelah aksi-aksi penaklukan dihentikan dan harga budak belian melambung tinggi.

Kendati bangsa Romawi Kuno menggunakan cara barter, bahkan dalam urusan pengumpulan pajak, Roma sudah membuat dan memanfaatkan uang logam. Kepingan-kepingan uang kuningan, perunggu, dan logam mulia beredar di dalam maupun di luar wilayah kekaisaran Romawi, bahkan ada kepingan uang Romawi yang ditemukan di India. Sebelum abad ke 3 SM, tembaga diperdagangan menurut bobotnya, dalam tumpukan-tumpukan tak bertanda di seluruh kawasan tengah Italia. Nilai nominal sekeping uang tembaga mula-mula setara dengan nilai tembaga seberat satu pon Romawi, tetapi bobotnya kurang dari satu pon. Dengan demikian, nilai kepingan uang logam Romawi sebagai alat tukar secara konsisten melebihi nilai intrinsiknya sebagai logam. Sesudah Nero mulai menurunkan mutu kepingan perak denarius, nilai tukarnya yang sah diperkirakan sepertiga lebih besar daripada nilai intrinsiknya.

Kuda mahal harganya, sementara satwa angkut jenis lain lebih lamban jalannya. Kegiatan jual beli diperlancar oleh jalan-jalan raya Romawi yang menghubungkan markas-markas tentara Romawi, tempat pasar-pasar Romawi berpusat.[198] Jalan-jalan raya ini dirancang khusus untuk dilalui kendaraan beroda.[199] Sebagai akibatnya, timbul kegiatan angkut komoditas antardaerah dalam wilayah kekuasaan bangsa Romawi, yang bertambah seiring meningkatnya kegiatan niaga bahari Romawi pada abad ke-2 SM. Kala itu satu kapal niaga hanya perlu waktu kurang dari sebulan untuk menempuh jalur pelayaran dari Gades sampai ke Aleksandria via Ostia, sama dengan panjang keseluruhan Laut Tengah.[108] Ongkos angkut lewat laut kira-kira 60 kali lebih murah dibanding lewat darat, sehingga volume angkutan lewat laut juga jauh lebih besar.

Menurut sebagian ekonom, perekonomian Kekaisaran Romawi adalah perekonomian pasar, praktik kapitalisnya setaraf dengan Negeri Belanda pada abad ke-17 dan Inggis pada abad ke-18.[200]

Satuan dasar masyarakat Romawi adalah rumah tangga (bahasa Latin: familia) dan keluarga besar (bahasa Latin: gens).[167] Rumah tangga beranggotakan orang-orang yang tinggal seatap, yakni kepala rumah tangga, yang disebut pater familias (bapa rumah tangga), istrinya, anak-anaknya, dan sanak saudaranya. Rumah-rumah tangga kelas atas juga beranggotakan budak-budak belian dan para pelayan.[167] Kepala rumah tangga memiliki kewenangan mutlak, yang disebut patria potestas (kuasa keayahan), atas semua orang yang tinggal seatap dengannya. Ia berwenang menjodohkan, menceraikan, maupun menjual anak-anaknya sebagai budak belian. Ia juga berwenang mengklaim harta benda milik anggota rumah tangganya sebagai harta bendanya sendiri, bahkan berwenang menghukum maupun membunuh anggota rumah tangganya. Kewenangan yang terakhir ini agaknya tidak lagi dijalankan selepas abad pertama SM.[202]

Patria potestas juga menaungi putra-putra pater familias yang sudah dewasa, berikut rumah tangga mereka masing-masing. Seorang laki-laki tidak dianggap sebagai pater familias, dan tidak pula benar-benar memiliki harta benda, selama ayahnya masih hidup.[202][203] Pada permulaan sejarah Romawi Kuno, seorang perempuan yang sudah menikah dengan sendirinya tunduk di bawah manus (pengaturan) pater familias keluarga besar suaminya. Adat semacam ini sudah ditinggalkan menjelang berakhirnya zaman republik, karena seorang perempuan kala itu boleh memilih untuk tetap menjadi anggota keluarga ayahnya sendiri, alih-alih menjadi anggota keluarga besar suaminya.[204] Kendati demikian, semua anak yang ia lahirkan tetap terbilang sebagai anggota keluarga suaminya, karena bangsa Romawi merunut hubungan kekerabatan melalui alur silsilah laki-laki.[205]

Anak-anak Romawi Kuno kurang dicurahi kasih sayang. Anak-anak lelaki maupun perempuan diasuh oleh ibu atau salah seorang kerabat mereka yang sudah uzur. Anak-anak yang tidak diinginkan oleh orang tuanya sering kali dijual sebagai budak belian.[206] Anak-anak boleh ikut bersantap bersama seluruh anggota keluarga di meja makan, tetapi tidak diperbolehkan ikut berbincang-bincang bersama orang-orang dewasa.[202]

Anak-anak keluarga ningrat biasanya diajari bahasa Latin dan bahasa Yunani oleh seorang inang pengasuh berkebangsaan Yunani. Anak-anak lelaki diajari kepandaian berenang dan berkuda oleh ayah mereka, tetapi adakalanya si ayah cukup mengupah seorang budak untuk menggantikannya. Anak-anak lelaki Romawi Kuno mulai bersekolah pada umur tujuh tahun. Karena tidak ada gedung sekolah, kegiatan belajar mengajar dilakukan di atas sotoh rumah. Jika hari gelap, murid harus membawa serta pelita ke sekolah. Loh-loh berlapis malam digunakan sebagai media tulis karena papirus dan perkamen terlampau mahal. Anak-anak dapat pula belajar menulis di permukaan pasir. Bekal makanan yang mereka bawa ke sekolah adalah seketul roti.[207]

Rumah-rumah tangga yang berkerabat membentuk satu keluarga besar (gens). Selain merupakan kelompok kekerabatan yang dipersatukan oleh pertalian darah atau adopsi, keluarga besar juga merupakan persekutuan politik dan ekonomi. Sejumlah keluarga terkemuka (gens maior, jamak: gentes maiores) tampil mendominasi kancah politik, teristimewa pada zaman republik.

Bagi masyarakat Romawi Kuno, terutama masyarakat kalangan atas, perkawinan sering kali dipandang sebagai persekutuan harta dan politik ketimbang persatuan sepasang kekasih. Seorang ayah biasanya mulai mencari-cari calon menantu saat anak gadisnya berumur antara dua belas dan empat belas tahun. Suami lazimnya lebih tua daripada istri, dan jika anak-anak gadis kalangan atas menikah pada usia yang sangat muda, maka ada bukti bahwa perempuan-perempuan di luar kalangan atas sering kali kawin umur akhir belasan tahun atau awal 20-an tahun.

Kehidupan masyarakat Romawi Kuno berkisar di seputar kota Roma, yang luasnya mencakup tujuh bukit. Ada banyak sekali bangunan raksasa di kota ini, antara lain Amphitheatrum Flavium (gelanggang pertunjukan Flavius), Forum Traiani (alun-alun Traianus), dan Pantheum (kuil segala dewa-dewi). Ada pula gedung-gedung pementasan, gedung-gedung perguruan sekaligus pusat kebugaran, pasar-pasar, gorong-gorong pembuangan, rumah-rumah pemandian lengkap dengan perpustakaan dan toko-toko, serta pancuran-pancuran air minum yang dialirkan beratus-ratus meter melalui akuaduk-akuaduk. Jenis bangunan hunian di seluruh wilayah Romawi Kuno berkisar dari rumah-rumah tinggal sederhana sampai vila-vila di daerah pedesaan.

Di ibu kota Roma, wisma-wisma kediaman kaisar berdiri megah di Bukit Palatium. Kaum Plebs dan kaum Eques tinggal di pusat kota, berdesak-desakan dalam hunian-hunian susun atau Insula, yang mirip sekali dengan kampung-kampung kumuh pada Zaman Modern. Hunian-hunian yang sering kali dibangun oleh juragan-juragan tanah dari kalangan atas untuk disewakan ini kerap berpusat pada suatu collegium (perhimpunan) atau taberna (kedai). Para penghuninya dijatahi pasokan gandum cuma-cuma, dihibur dengan pertunjukan-pertunjukan adu ketangkasan gladiator, dan terikat dalam hubungan anak semang - induk semang dengan orang-orang Patricius, yakni orang-orang yang mereka mintai bantuan dan yang kepentingannya mereka junjung.

Bahasa asli bangsa Romawi adalah bahasa Latin, salah satu bahasa dalam rumpun bahasa Italik. Tata bahasa Latin sedikit sekali bergantung pada urut-urutan kata, dan justru mengandalkan sistem pengimbuhan kata dasar sebagai sarana penyampai maksud.[208] Aksaranya dikembangkan dari aksara Etruski, yang diturunkan dari aksara Yunani.[209] Sekalipun seluruh karya sastra Latin yang sintas sampai sekarang adalah karya-karya susastra yang ditulis dalam bahasa Latin Klasik, sebuah bahasa susastra yang sangat tertata lagi muluk berbunga-bunga dari abad pertama sebelum permulaan tarikh Masehi, bahasa tutur di Kekaisaran Romawi sesungguhnya adalah bahasa Latin Umum, yang cukup berbeda dari bahasa Latin Klasik, baik dalam tata bahasa maupun kosakata, dan ujung-ujungnya juga dalam pelafalan.[210] Para penutur bahasa Latin mampu memahami kedua ragam bahasa ini sampai dengan abad ke-7, manakala bahasa tutur sudah sangat jauh menyimpang dari bahasa susastra sampai-sampai 'bahasa Latin Klasik' alias 'bahasa Latin yang baik dan benar' harus dipelajari sebagai bahasa sekunder.[211]

Kendati bahasa Latin tetap menjadi bahasa sastra utama di Kekaisaran Romawi, posisinya sebagai bahasa tutur akhirnya tergeser oleh bahasa Yunani, yang menjadi bahasa para petinggi terpelajar, karena sebagian besar karya sastra yang dipelajari oleh bangsa Romawi tertulis dalam bahasa Yunani. Di belahan timur Kekaisaran Romawi, yang kelak menjadi Kekaisaran Romawi Timur, bahasa Latin tidak kunjung mampu menggeser bahasa Yunani, dan sesudah kemangkatan Kaisar Iustinianus, bahasa Yunani menjadi bahasa resmi pemerintahan Kekaisaran Romawi Timur.[212] Gerak ekspansi Kekaisaran Romawi telah menyebarluaskan bahasa Latin ke seluruh Eropa. Bahasa Latin Umum pun berkembang menjadi macam-macam dialek yang berbeda-beda dari satu daerah ke daerah lain, dan lambat laun berubah menjadi bahasa-bahasa berlainan yang kini digolongkan ke dalam rumpun bahasa Romawi.

Agama asli bangsa Romawi, setidaknya mengenai dewa-dewinya, bukanlah sekumpulan narasi tertulis, melainkan hal ihwal hubungan timbal balik antara dewa-dewi dan umat manusia.[213] Berbeda dari dewa-dewi Yunani, dewa-dewi Romawi tidak dipersonifikasi, tetapi secara taksa diartikan sebagai roh-roh suci yang disebut numina. Bangsa Romawi juga percaya bahwa tiap-tiap orang, tempat, atau benda memiliki penunggu niskala (genius) masing-masing. Kehidupan beragama pada zaman republik diatur secara ketat oleh jawatan rohaniwan, yang beranggotakan orang-orang berpangkat senator. Collegium Pontificum (majelis begawan) menempati jenjang teratas dalam jawatan ini, dan Pontifex Maximus (begawan tertinggi), ketua Collegium Pontificum, adalah pemimpin agama negara. Para flamen (pendeta) mengurusi hal-ihwal kebaktian kepada dewa-dewi, sementara para augur (penenung) dipercaya menilik untung malang orang dengan cara menafsirkan gelagat. Rex Sacrorum (raja keramat) menjalankan segala tanggung jawab keagamaan dari raja-raja yang dimakzulkan. Pada zaman kekaisaran, kaisar didewakan,[214][215] dan penyembahan terhadap kaisar sebagai dewa diutamakan.

Seiring meningkatnya perhubungan dengan bangsa Yunani, dewa-dewi lama bangsa Romawi lambat laun disamakan dengan dewa-dewi bangsa Yunani.[216] Iuppiter dianggap sama dengan Zeus, Mars dianggap sama dengan Ares, dan Neptunus dianggap sama dengan Poseidon. Dewa-dewi bangsa Romawi juga dihubung-hubungan dengan alat-alat kebesaran dan berbagai mitologi yang serupa dengan dewa-dewi bangsa Yunani. Pada zaman kekaisaran, bangsa Romawi menyerap mitologi bangsa-bangsa taklukan mereka, sampai-sampai kuil-kuil dewa-dewi asli Jazirah Italia tegak berdampingan dengan kuil-kuil dewa-dewi asing.[217]

Semenjak zaman pemerintahan Kaisar Nero pada abad pertama tarikh Masehi, sikap resmi bangsa Romawi terhadap agama Kristen bersifat negatif, bahkan adakalanya orang terancam dihukum mati jika ketahuan memeluk agama Kristen. Pada masa pemerintahan Kaisar Diocletianus, aniaya terhadap umat Kristen mencapai puncaknya. Kendati demikian, agama Kristen akhirnya menjadi agama yang didukung secara resmi oleh negara pada masa pemerintahan kaisar pengganti Diocletianus, Constantinus I, dengan diterbitkannya Maklumat Milan tahun 313, dan tak lama kemudian sudah menjadi agama mayoritas. Keberadaan semua agama selain Kristen di wilayah Kekaisaran Romawi diharamkan pada tahun 391 M oleh Kaisar Theodosius I.[218]

Constantinus dan agama Kristen

Constantinus naik takhta menjadi salah seorang dari empat serangkai pada tahun 306. Ia berulang kali memerangi ketiga rekannya. Pertama-tama Maxentius ia tundukkan pada tahun 312. Pada tahun 313, ia menerbitkan Maklumat Milan, yang menjamin kebebasan umat Kristen untuk mengamalkan ajaran agamanya.[135] Constantinus akhirnya memeluk agama Kristen, sehingga perbawa agama Kristen pun terdongkrak. Ia memulai usaha kristenisasi Kekaisaran Romawi dan Eropa, yang baru dituntaskan oleh Gereja Katolik pada Abad Pertengahan. Ia dikalahkan orang Franka dan orang Alemani pada kurun waktu 306–308. Pada tahun 324, ia menundukkan Licinius, salah seorang rekannya sesama kaisar, dan akhirnya menyatukan kembali kekuasan atas seantero wilayah Kekaisaran Romawi seperti pada masa sebelum Diocletianus berkuasa. Sebagai kenang-kenangan akan kejayaannya, dan demi kepentingan agama Kristen, Constantinus membangun kembali kota Bizantium dan mengganti namanya menjadi Nova Roma (Roma Baru), tetapi tak lama kemudian kota ini pun lazim dikenal dengan julukannya dalam bahasa Yunani, yakni Konstantinopolis (Kota Constantinus).[136][137]

Masa pemerintahan Iulianus, kaisar yang berusaha menghidupkan kembali agama asli Romawi dan Yunani akibat dipengaruhi penasihatnya, Mardonius, hanyalah jeda singkat dalam kurun waktu pemerintahan kaisar-kaisar Kristen. Konstantinopolis menjadi ibu kota baru Kekaisaran Romawi. Roma memang sudah kehilangan arti pentingnya semenjak timbul Krisis Abad Ketiga. Mediolanum menjadi ibu kota wilayah barat dari tahun 286 sampai tahun 330, sebelum Kaisar Honorius menetapkan Ravenna menjadi ibu kota yang baru pada abad ke-5.[138] Kebijakan Constantinus untuk melakukan tata ulang moneter dan pembaharuan tata usaha negara, yang mampu mempersatukan kembali seantero wilayah Kekaisaran Romawi di bawah pemerintahan satu orang kaisar, serta usahanya membangun kembali kota Bizantium telah menimbulkan perubahan besar pada kurun waktu pertengahan Abad Kuno.

Zaman kekaisaran – pemerintahan para dominus

Pada tahun 284 M, Diocletianus dimasyhurkan sebagai imperator oleh angkatan bersenjata kawasan timur. Diocletianus memulihkan kekaisaran dari krisis, melalui perubahan haluan politik dan ekonomi. Suatu bentuk pemerintahan yang baru pun dibentuk, yakni tetrarchia (catur rajya). Wilayah Kekaisaran Romawi dibagi menjadi empat bagian, dua di kawasan barat dan dua di kawasan timur, masing-masing diperintah oleh seorang kaisar. Keempat serangkai yang pertama adalah Diocletianus (di timur), Maximianus (di barat), serta dua orang kaisar-muda, yakni Galerius (di timur) dan Flavius Constantius (di barat). Demi memperbaiki perekonomian negara, Diocletianus melakukan sejumlah pembaharuan perpajakan.[130]

Diocletianus mengusir bangsa Persia yang merajalela di Suriah, dan menaklukkan sejumlah suku barbar bersama Maximianus. Diocletianus meniru banyak perilaku raja-raja Dunia Timur, misalnya mengenakan perhiasan dari mutiara serta berjubah dan berterompah kencana. Setiap orang yang menghadap kaisar pun diwajibkan bersujud menyembah seturut adat Dunia Timur, yang belum pernah dipraktikkan di Roma sebelumnya.[131] Diocletianus tidak lagi berpura-pura bahwa negara masih berbentuk republik, sebagaimana yang dilakukan kaisar-kaisar pendahulunya semenjak Augustus berkuasa.[132] Antara tahun 290 dan tahun 330, setengah lusin kota ditetapkan menjadi ibu kota baru oleh kaisar-kaisar empat serangkai, baik secara resmi maupun tidak, yakni Antiokhia, Nikomedia, Tesalonika, Sirmium, Milan, dan Trier.[133] Diocletianus juga bertanggung jawab atas aksi aniaya besar-besaran terhadap umat Kristen pada masa pemerintahannya. Pada tahun 303, Diocletianus dan Galerius memulai aksi aniaya tersebut, memerintahkan penghancuran rumah-rumah ibadat dan kitab-kitab agama Kristen, serta mengharamkan peribadatan Kristen.[134] Diocletianus turun takhta pada tahun 305 M bersama-sama dengan Maximianus. Dengan demikian, ia adalah Kaisar Romawi pertama yang melepaskan jabatannya. Masa pemerintahannya menyudahi era pemerintahan kaisar-kaisar pendahulunya, yakni pemerintahan para princeps (ketua), dan mengawali era pemerintahan yang baru, pemerintahan para dominus (tuan besar).

Dia pernah mengasingkan putrinya sendiri

Sebagai pendukung nilai-nilai tradisional, Augustus membangun dan memperbarui banyak kuil selama masa pemerintahannya, mendorong perkawinan dan persalinan. Namun pada 2 SM ia harus menerima kenyataan jika putri satu-satunya, Julia, telah berhubungan di luar nikah dengan banyak pria berpengaruh, termasuk putra Mark Antony. Akibatnya, ia pun mengasingkan anaknya itu ke pulau berbatu Ventotene.

Meskipun kemudian dia mengizinkannya untuk pindah ke tempat yang tidak begitu terisolasi, di mana dia tidak pernah melihatnya lagi. Augustus juga membuang cucunya karena tuduhan perzinahan, meskipun dalam kedua kasus tersebut para sejarawan percaya ada faktor-faktor tambahan yang mungkin berperan.